KOTA MALANG - Berada di wilayah lingkar gunung api serta dilingkupi berbagai patahan, membuat Indonesia rentan terhadap bencana alam, khususnya gempa bumi, yang banyak menelan korban, baik materi, korban luka hingga meninggal dunia. Kesiapan penanggulangan terhadap gempa bumi harus didahului sedikit mungkin, salah satunya dari persiapan bangunan tahan gempa.
Bangunan tahan gempa, menurut Ir. Ari Wibowo, ST., MT., Ph.D, bukanlah bangunan yang tidak rusak ketika terkena gempa. “Bangunan tahan gempa adalah bangunan yang bisa rusak saat gempa, tapi tidak bisa runtuh. Bangunan yang rusak dengan cara yang diinginkan sehingga dapat tetap berdiri meski tergena gempa, itu adalah konsep bangunan tahan gempa”, jelas Ari.
Ir. Ari Wibowo, ST., MT., Ph.D,
Ir. Ari Wibowo, ST., MT., Ph.D, , Sekretaris Departemen Profesi Keinsinyuran, FT UB
Konsep bangunan ini, imbuh Ari, sesuai panduan dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat ada tiga tingkat. “Saat terkena gempa kecil, bangunan tidak rusak. Ketika bangunan terkena gempa sedang, bangunan ini bisa rusak di struktur sekunder seperti dinding dan pelat tapi struktur utama tidak boleh rusak. Dan ketika terkena gempa besar, struktur utama seperti balok dan kolom bisa rusak tapi tidak bisa runtuh”, imbuh pria yang menjabat sebagai Sekretaris Departemen Profesi Keinsinyuran, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya ini.
“Bangunan tahan gempa, bagi masyarakat umum, pada prinsipnya adalah sederhana dan ringan”, ujarnya. Bangunan sederhana adalah yang beraturan, dimisalkan Ari dengan denah yang berbentuk simetris seperti kotak, dan tersedianya kolom di setiap pertemuan dinding, kolom terus menerus sampai bawah. “Kolom juga harus lebih kuat dibanding baloknya”, jelasnya. Hal ini agar kerusakan terjadi di balok, bukan di kolom. Inilah yang dimaksud dengan “rusak dengan cara yang diinginkan”.
Bangunan juga harus ringan. “Hal ini karena efek gempa pada struktur sebanding dengan berat bangunan. Berat bangunan menjadi ringan dapat dilakukan salah satunya dengan penggunaan bata ringan untuk dinding, penggunaan rangka baja ringan seperti galvalum untuk bangunan. Isi rumah juga harus dipertimbangkan, karena semakin ringan isi rumahnya, efek gempa bisa diminimalisir karena bangunannya ringan”, ujar Ari.
Kondisi tanah, jelas Ari, juga berpengaruh terhadap kekuatan gempa. Makin lunak tipe tanah, makin besar efek gempa ke bangunan. “Kunci utama untuk penyangga bangunan adalah harus mencapai tanah keras atau tanah cadas. Sangat menjamin untuk bangunan tahan gempa. Jika tidak, maka efek gempanya juga akan lebih berat”, imbuh dosen Teknik Sipil ini.
Terkait bahan, bahan organik seperti kayu atau bambu mempunyai sifat elastisitas yang lebih dapat bertahan dalam kondisi deformasi yang besar. “Sehingga bangunan dengan material kedua bahan ini bisa lebih bertahan walaupun bangunan sudah doyong besar, dan tidak gampang runtuh. Namun, kedua bahan ini lebih rentan terhadap rayap, jamur, kelembaban dan sejenisnya. Makanya kenapa rumah pakai beton cenderung lebih dipilih karena lebih awet”, ujarnya.
Untuk menyiapkan bangunan tahan gempa, Ari mengingatkan untuk membuat bangunan yang sederhana, kuat dan ringan. “Kuat di sini terkait dengan kualitas material bangunan, metode konstruksi yang digunakan, dan sebagainya. Misal pembuatan betonnya benar-benar kuat, dan sesuai aturan mulai dari ukuran dan jumlah besi, komposisi material hingga ukurannya. Untuk itu bagi masyarakat awam, tentu konsultasi atau pemakaian jasa konstruksi yang benar dan taat aturan akan sangat membantu, karena ada istilah teknis yang sulit dipahami oleh masyarakat awam. Panduan mengenai bangunan sederhana juga sudah disediakan oleh Kementerian PUPR, dan bisa di akses oleh masyarakat”, pungkasnya. (VQ)
Baca juga:
Poempida: IDCTA Promosikan Dekarbonisasi
|